Investor Sulit Cari Obligasi Murah di Tengah Premi Risiko yang Menyempit
Premi risiko obligasi global menyempit ke level terendah sejak 2009, membuat investor sulit menemukan valuasi menarik dan beralih ke aset defensif.

JAKARTA – Pasar obligasi global tengah menghadapi kondisi paling ketat dalam beberapa dekade, membuat investor kesulitan mendapatkan surat utang korporasi dengan valuasi menarik. Menurut laporan Bloomberg, reli panjang telah mendorong harga hampir seluruh obligasi korporasi berperingkat tinggi ke level mahal, dengan selisih (spread) terhadap rata-rata indeks berada di titik terendah sejak 2009. Pada obligasi berperingkat rendah (junk bonds), variasi spread bahkan menyentuh level terendah sejak sebelum pandemi Covid-19.
Situasi ini memaksa investor mengambil risiko lebih besar demi tambahan imbal hasil yang sangat tipis. “Sulit mencari cara untuk memperoleh imbal hasil lebih tinggi tanpa menanggung risiko berbeda,” ujar April LaRusse, Kepala Spesialis Investasi Insight Investment, Minggu (10/8/2025).
LaRusse menjelaskan, pertumbuhan indeks kredit dan reksa dana pendapatan tetap telah memperkecil perbedaan imbal hasil antar obligasi, sehingga peluang investasi menarik semakin jarang. Arus dana besar ke obligasi korporasi juga membuat premi risiko terhadap obligasi pemerintah semakin menyempit. Rata-rata premi risiko obligasi global berperingkat tinggi pada Kamis (7/8) tercatat 82 basis poin, mendekati titik terendah sejak sebelum krisis keuangan global. Sementara itu, untuk obligasi berperingkat rendah, selisihnya hanya sekitar seperempat poin persentase dari rekor terendah pasca-krisis.
Melambatnya ekonomi Amerika Serikat turut memicu sikap hati-hati investor. Data tenaga kerja menunjukkan penurunan signifikan selama tiga bulan terakhir, sedangkan survei manajer pembelian terbaru menempatkan perlambatan ekonomi sebagai risiko utama, menggantikan inflasi.
Andrew Chorlton, Kepala Investasi Pendapatan Tetap M&G Investments, mengungkapkan pihaknya memperbesar alokasi pada aset defensif seperti kas, obligasi pemerintah, obligasi dengan jaminan, dan surat utang berperingkat AAA, ketimbang menambah eksposur ke obligasi korporasi. Pandangan serupa disampaikan Al Cattermole, Manajer Portofolio Pendapatan Tetap di Mirabaud Asset Management. “Saya tidak ingin menambah obligasi CCC yang harganya diperdagangkan seperti peringkat B. Ini menjadi dilema kami saat ini,” ujarnya, merujuk pada tipisnya perbedaan imbal hasil antar obligasi berisiko tinggi.
What's Your Reaction?






