Saham Milik Konglomerat Jadi Motor Kuat Penggerak IHSG Tembus 7.600

IHSG berhasil menembus level 7.600 didorong oleh lonjakan saham afiliasi konglomerat seperti Anthoni Salim, Prajogo Pangestu, dan Toto Sugiri. Saham DCII, DSSA, BRPT, hingga CDIA jadi motor penguatan indeks sepanjang 2025.

Jul 29, 2025 - 14:18
 0  12
Saham Milik Konglomerat Jadi Motor Kuat Penggerak IHSG Tembus 7.600

JAKARTA — Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil menembus level 7.600, didukung oleh lonjakan saham-saham emiten yang berafiliasi dengan sejumlah konglomerat besar Indonesia, seperti Anthoni Salim, Toto Sugiri, dan Prajogo Pangestu.

Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG mencatatkan kenaikan sebesar 7,55% secara year-to-date (YtD), dan berada di posisi 7.614,76 pada penutupan perdagangan Senin (28/7/2025). Di antara sektor-sektor yang mengalami penguatan, IDX Technology memimpin dengan lonjakan 124,06%, disusul sektor IDX Infrastructure dan IDX Basic Materials yang masing-masing tumbuh 31,25% dan 31,23% sejak awal tahun.

Jika ditelusuri lebih dalam, penguatan IHSG sebagian besar ditopang oleh saham-saham unggulan yang berasal dari perusahaan-perusahaan milik konglomerat. Salah satunya adalah saham PT DCI Indonesia Tbk. (DCII) yang berada di puncak daftar penggerak IHSG secara YtD. Emiten pusat data ini, yang terhubung dengan Anthoni Salim dan Toto Sugiri, mencatat kenaikan fantastis sebesar 723,57% dan berkontribusi sebesar 355,02 poin terhadap IHSG.


Baca Juga : Saham PGUN Milik Haji Isam Disuspensi BEI Usai Meroket 100% dalam Sepekan


Selain menjadi kontributor terbesar, DCII juga menjadi saham dengan harga tertinggi di BEI. Pada perdagangan kemarin, harga per sahamnya mencapai Rp346.725 atau sekitar Rp34,67 juta per lot.

Di urutan selanjutnya, terdapat saham PT Dian Swastatika Sentosa Tbk. (DSSA) dan PT Sinarmas Multiartha Tbk. (SMMA), dua perusahaan di bawah naungan Grup Sinar Mas milik keluarga Widjaja. DSSA tumbuh 78,11% dan SMMA naik 47,26% sejak Januari 2025.

Sementara itu, konglomerasi milik Prajogo Pangestu, pemilik Grup Barito Pacific, juga menyumbang signifikan dalam penguatan IHSG. Tiga saham afiliasi grup ini masuk ke jajaran top leaders, yaitu PT Barito Pacific Tbk. (BRPT) yang naik 168,48%, PT Chandra Daya Investasi Tbk. (CDIA) yang melejit 863,16%, dan PT Chandra Asri Pacific Tbk. (TPIA) yang menguat 25,67% YtD.

Riset yang dilakukan oleh UBS (Union Bank of Switzerland) menunjukkan prospek cerah BRPT di sektor energi hijau dan petrokimia. BRPT memiliki anak usaha seperti PT Barito Renewables Energy Tbk. (BREN) yang menjadi pemimpin di sektor energi terbarukan dengan kapasitas mencapai 965 MW di 2024. UBS memproyeksikan kapasitas ini akan meningkat hingga 1,8–2,4 GW antara 2027 dan 2032, melalui proyek panas bumi dan angin.

Dalam bidang petrokimia, TPIA juga masih mempertahankan status sebagai produsen terbesar di Indonesia dengan kapasitas 4,2 juta ton per tahun. Meski sektor ini sempat tertekan akibat kelebihan pasokan global yang didorong oleh ekspansi masif di China, UBS memperkirakan siklus petrokimia global akan membaik secara bertahap. Faktor pendorongnya meliputi melambatnya penambahan kapasitas di China, pemulihan permintaan global, dan kondisi geopolitik yang dinamis.

Menurut Investment Analyst Infovesta Utama, Ekky Topang, dominasi saham-saham konglomerasi menjadi pilar utama dalam tren bullish IHSG. Ia menyebut, potensi masuknya saham-saham besar ke dalam indeks MSCI turut memperkuat ekspektasi positif dari para investor. Selain itu, keberagaman sektor bisnis yang dijalankan oleh grup-grup besar ini—mulai dari ritel, pertambangan, properti hingga transportasi—menambah daya tarik mereka.

Ekky juga menilai bahwa pemulihan konsumsi dan iklim investasi domestik menjadi pendorong pertumbuhan kinerja banyak sektor, terutama didukung ekspektasi terhadap penurunan suku bunga yang memperbaiki likuiditas pasar.

Namun demikian, ia mengingatkan bahwa tantangan tetap ada. Di antaranya adalah kompleksitas struktur bisnis konglomerasi, yang kadang menciptakan perbedaan signifikan antara pendapatan anak usaha dan laba bersih induk perusahaan. Selain itu, masih banyak perusahaan afiliasi yang belum terbuka informasinya secara publik, terutama jika tidak tercatat di bursa.

Ekky juga menyoroti bahwa valuasi beberapa saham konglomerasi masih relatif murah karena belum pulih sepenuhnya pasca koreksi tahun lalu. Aksi korporasi seperti IPO anak usaha, spin-off, atau merger strategis dapat menjadi pemicu kenaikan valuasi dalam jangka menengah.

Meski prospek menjanjikan, investor tetap harus mencermati faktor risiko yang menyertai, termasuk tata kelola perusahaan dan sentimen negatif terhadap sektor tertentu seperti logistik atau properti yang bisa mempengaruhi persepsi investor terhadap grup secara keseluruhan.


Disclaimer: Artikel ini tidak dimaksudkan sebagai rekomendasi untuk membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab pembaca. Redaksi tidak bertanggung jawab atas segala keuntungan atau kerugian yang mungkin timbul dari keputusan investasi yang diambil.

What's Your Reaction?

Like Like 1
Dislike Dislike 0
Love Love 0
Funny Funny 0
Angry Angry 0
Sad Sad 0
Wow Wow 0